Plaza 3 Pondok Indah Blok A No 1 Jl. TB Simatupang, Pondok Pinang Jakarta Selatan, Indonesia

Rumah > Blog

Memperluas Cakrawala Alat Kesehatan Halal dengan Menekankan Kemurnian dan Keutuhan

Memperluas Cakrawala Alat Kesehatan Halal dengan Menekankan Kemurnian dan Keutuhan

Dr. Hussein H. Mashhour, MD
9 Oktober 2025

Isi

Selama beberapa dekade, konsep Halal terbatas pada apa yang kita makan dan minum. Hal ini memandu produsen makanan, restoran, dan konsumen dalam menjaga kemurnian dan etika melalui kepatuhan terhadap pola makan.

Namun, seiring berkembangnya lanskap regulasi di Indonesia, jangkauan halal pun turut berkembang. Kini, pengaruhnya melampaui dapur dan meja makan, menjangkau laboratorium, rumah sakit, bahkan ruang operasi.

Sebagai Dr. Hussein H. Mashhour, MD, yang dicatat dalam pemikirannya sebelumnya Dari Makanan hingga Kateter" di LinkedIn, “Halal bukan lagi identitas budaya — melainkan kerangka kerja global untuk etika, kualitas, dan integritas ilmiah.” Refleksi ini menangkap perubahan yang kuat: jika Halal mendefinisikan apa yang kita konsumsi, bukankah seharusnya ia juga mendefinisikan instrumen yang menyelamatkan nyawa?

Landasan Etika: Halal sebagai Prinsip Universal dalam Pelayanan Kesehatan

Pada hakikatnya, Halal bukan hanya sekedar perintah agama, namun kode etik universalPrinsip-prinsip medis modern sangat selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam keselamatan, kebersihan, integritas, dan rasa hormat terhadap kehidupan.

Frasa Al-Quran “Halalan Thayyiban” menekankan kemurnian (halal) dan kebaikan (thayyib). Dalam istilah medis, hal ini berarti "aman, bersih, dan bermanfaat." Prinsip yang sama mendasari kerangka kerja global seperti Praktik Manufaktur yang Baik (GMP) dan ISO 13485 untuk alat kesehatan.

Konvergensi antara iman dan sains ini menjadikan sertifikasi halal dalam layanan kesehatan lebih dari sekadar simbolis. Standar operasional ini menjamin bahwa produk bersumber secara etis, diproduksi dengan aman, dan sesuai dengan budaya bagi jutaan pasien Muslim di seluruh dunia.

Menariknya, rumah sakit non-Muslim dan produsen global juga sudah mulai mengadopsi standar Halal sebagai bagian dari komitmen rantai pasokan yang etis dan berkelanjutanPada akhirnya, Halal dalam perawatan kesehatan bukan hanya tentang agama; hal ini juga mewakili kepercayaan.

Dari Sarung Tangan Bedah hingga Implan: Cakupan Alat Kesehatan Halal yang Semakin LuasS

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memperluas cakupan sertifikasi halal. Selain pangan dan kosmetik, undang-undang ini juga mewajibkan persyaratan sertifikasi untuk alat kesehatan.

Perkembangan ini memicu revolusi yang tenang. Untuk pertama kalinya, regulator, dokter, dan produsen harus memeriksa tidak hanya apakah suatu perangkat berfungsi, tetapi juga terbuat dari apa dan bagaimana cara pembuatannya.

Ruang lingkup alat kesehatan halal saat ini meliputi:

  • Sarung tangan bedah, yang mungkin mengandung pelumas berbahan dasar gelatin atau bubuk yang berasal dari hewan.
  • Kateter, stent, dan tabung, terkadang dibuat dari polimer yang menggunakan aditif yang berasal dari hewan.
  • Jahitan, implan kolagen, dan pembalut luka, sering kali berasal dari sumber sapi atau babi.
  • Bahan gigi dan ortopedi, yang mungkin menggunakan bahan pengikat atau pelapis yang berasal dari hewan.

Pergeseran ini menyoroti bentuk baru ketertelusuran etis: produsen diharapkan menelusuri setiap lapisan rantai pasok material mereka untuk memastikan integritas halal. Hasilnya? Gelombang inovasi baru seputar polimer berbasis tanaman, kolagen sintetis, dan bahan halal yang biokompatibel.

"Ketika seorang pasien mempercayakan tubuhnya kepada seorang dokter, industri harus memastikan setiap alat dalam proses tersebut murni dalam bentuk dan tujuan," tegas Dr. Hussein dalam komentarnya sebelumnya.

Peran Indonesia sebagai Garda Depan Regulasi Pelayanan Kesehatan Halal

Indonesia kini menjadi yang terdepan di dunia dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip halal ke dalam regulasi medis. Melalui kolaborasi antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sertifikasi halal untuk alat kesehatan secara bertahap ditegakkan bersamaan dengan registrasi teknis melalui sistem Regalkes Kemenkes.

Kerangka kerja ganda ini memastikan bahwa peralatan medis yang masuk ke Indonesia aman secara teknis dan patuh pada etika.

  • BPJPH mengelola audit dan sertifikasi Halal.
  • MoH mengevaluasi kinerja produk, keselamatan, dan kelas risiko.
  • Kedua lembaga berkoordinasi secara digital melalui portal SiHalal dan Regalkes.

Kerangka regulasi Indonesia berfungsi sebagai model bagi eksportir dan diadopsi oleh negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Brunei, dan Thailand.

Menurut Dr. Hussein, “Jika Eropa memiliki MDR dan Amerika memiliki FDA, Indonesia sedang membangun tolok ukur global untuk manufaktur medis yang etis.”

Tantangan dalam Sertifikasi Halal Alat Kesehatan

Mengubah etika medis menjadi kenyataan manufaktur bukanlah hal yang mudah. Perusahaan menghadapi tantangan kompleks dalam mengintegrasikan standar Halal ke dalam operasi global mereka:

  1. Komponen yang Berasal dari Hewan: Banyak produk medis masih mengandalkan kolagen, kitosan, atau gelatin yang bersumber dari hewan, sehingga keterlacakan menjadi sangat penting.
  2. Kompleksitas Rantai Pasokan Global: Banyaknya pemasok dan subkontraktor membuat verifikasi bahan menjadi sulit.
  3. Keterbatasan Analitis: Metode pengujian laboratorium saat ini dapat memastikan adanya kontaminasi tetapi tidak selalu membedakan antara sumber halal dan non-halal.
  4. Hambatan Lintas Yurisdiksi: Perangkat yang bersertifikat FDA dan CE harus menjalani dokumentasi tambahan untuk memenuhi persyaratan BPJPH.

Namun, tantangan-tantangan ini juga memicu inovasi. Kolaborasi antara perusahaan multinasional dan Pusat Sains Halal Indonesia menghasilkan kemajuan signifikan dalam biomaterial sintetis, biopolimer halal, dan benang jahit non-hewani, yang menunjukkan bagaimana regulasi memang dapat mendorong kemajuan.

Kebangkitan Bioteknologi dan Inovasi Material Halal

Salah satu konsekuensi paling menggembirakan dari integrasi halal dalam layanan kesehatan adalah kebangkitan bioteknologi halal. Universitas dan lembaga litbang di seluruh Indonesia, termasuk UI, ITB, dan LPPOM-MUI, sedang merintis penelitian tentang:

  • Protokol rekayasa jaringan bersertifikat halal.
  • Kolagen sintetis dan polimer biokompatibel.
  • Pengganti enzim yang berasal dari sumber mikroba atau tumbuhan.

Inovasi-inovasi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan-bahan yang berasal dari hewan tetapi juga menciptakan peluang ekspor baru: Biomaterial bersertifikat halal.

Di pasar global seperti Timur Tengah, di mana pengadaan layanan kesehatan semakin mengutamakan sumber yang etis, bahan bersertifikat Indonesia semakin diminati. Sebagaimana dicatat oleh seorang pengamat industri halal, "Halal bukan lagi sekadar kepatuhan reaktif — melainkan menjadi garda terdepan inovasi biomedis."

Menjembatani Standar Global: Ketika Halal Bertemu dengan CE dan FDA

Ada kesalahpahaman bahwa sertifikasi Halal bersaing dengan sistem keamanan global seperti persetujuan CE atau FDA. Kenyataannya, sertifikasi Halal justru melengkapi keduanya.

  • Persetujuan FDA/CE memastikan perangkat aman dan efektif.
  • ISO 13485 menjamin kualitas produksi.
  • Sertifikasi halal memastikan bahwa sumber yang etis dan kemurnian selaras dengan nilai-nilai pasien.

Bersama-sama, mereka membentuk apa yang para ahli seperti Dr. Hussein gambarkan sebagai Kerangka Kerja Jaminan Tiga Kali Lipat: keselamatan, kualitas, dan etika.

Seiring dengan upaya Indonesia menyelaraskan dokumentasi BPJPH dengan standar ASEAN dan WHO, suatu hari nanti kita mungkin akan melihat perangkat yang memenuhi tiga kriteria: disetujui FDA/CE/Halal. Bagi produsen global, ini bukan berarti regulasi yang lebih ketat, melainkan kredibilitas yang lebih baik di pasar yang semakin berorientasi pada nilai.

Konvergensi Iman, Sains, dan Inovasi

Peralatan medis halal mencerminkan evolusi layanan kesehatan itu sendiri. Peralatan ini menggabungkan tiga pilar penting: etika berbasis agama, ilmu regulasi, dan inovasi teknologi.

Bagi Indonesia, gerakan ini memperkuat kepemimpinannya dalam tata kelola halal global. Bagi produsen, gerakan ini menawarkan peta jalan menuju transparansi dan kepercayaan jangka panjang.

Sebagaimana dirangkum oleh Dr. Hussein H. Mashhour, “Halal dalam pelayanan kesehatan bukan berarti membatasi ilmu pengetahuan, melainkan mendefinisikan ulang tujuannya.”

Sesungguhnya, ketika iman dan sains bertemu, perawatan kesehatan tidak hanya menjadi lebih aman tetapi juga sangat manusiawi.

Butuh bantuan dengan registrasi Produk atau memahami lanskap peraturan di Indonesia?
Tag:
Membagikan
Berlangganan buletin kami
Artikel Terkait